Kebijakan Jokowi Pengetatan Jawa Bali

Kebijakan Jokowi Pengetatan Jawa Bali

Kebijakan Jokowi Pengetatan Jawa Bali – Banyak ahli telah memperingatkan pemerintah sebelumnya tentang kemungkinan ledakan kasus jika kebijakan pemerintah terkait pandemi lebih cenderung memprioritaskan ekonomi daripada kesehatan.

Hal tersebut kini telah terjadi dan mendorong Presiden Joko Widodo untuk memperketat pembatasan pergerakan di pulau Jawa dan Bali mulai 3 hingga 20 Juli untuk mencegah penularan COVID-19.

Dalam kurun waktu satu setengah bulan dari libur panjang Idul Fitri di pertengahan Mei, kasus harian COVID-19 di Indonesia meningkat dari sekitar 2.600 kasus pada 14 Mei menjadi hampir 25.000 pada 1 Juli. Selama periode yang sama, tingkat kematian meningkat dari sekitar 100 menjadi 500 kasus per hari.

Kami bertanya kepada peneliti kebijakan, ahli epidemiologi, dan dokter umum tentang arahan baru tersebut.

Kebijakan Jokowi Pengetatan Jawa Bali ini Akan Efektif

Andree Surianta, Peneliti Kebijakan Publik di Australian National University

Keputusan pemerintah untuk memperketat larangan mobilitas sudah tepat, karena semakin besar mobilitas orang, semakin cepat virus menyebar.

Negara-negara yang paling berhasil menahan penularan, seperti Australia dan Selandia Baru, diketahui memiliki kebijakan ketat untuk membatasi mobilitas ketika klaster baru diidentifikasi.

Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah PPKM Darurat benar-benar membatasi mobilitas masyarakat? Secara detail, efeknya tampak tidak merata.

Untuk pekerjaan kantoran misalnya. PPKM darurat sepertinya hanya memperpanjang ketentuan yang sebelumnya diberlakukan zona merah menjadi zona oranye, sekaligus memperketat zona hijau.

Jadi zona jingga dan hijau diperketat, tapi zona merah tetap sama. Ini dapat mencegah zona non-merah dari “ditingkatkan”, tetapi belum jelas apa strategi untuk “menurunkan” zona merah.

Pada akhirnya, kesadaran masyarakat untuk membatasi kegiatan mereka kemungkinan akan berkontribusi pada efektivitas kebijakan PPKM.

Memang, kurangnya kewaspadaan itulah yang menyebabkan PPKM sebelumnya gagal. Banyak yang salah paham bahwa vaksinasi adalah pengganti masker, cuci tangan dan jaga jarak. Seliar apapun variannya, jika virus tidak masuk ke saluran pernapasan kita, tidak akan bisa terinfeksi.

Vaksin penting dalam mengurangi keparahan, tetapi hanya intervensi fisik yang dapat memblokir virus. Pemerintah harus meningkatkan kampanye kesadaran untuk memastikan orang benar-benar Pahami perubahan perilaku dengan protokol kesehatan yang ketat untuk menjalani hidup baru di tengah pandemi.

Kami Membutuhkan Kebijakan Pembatasan yang Konsisten

Iqbal Elyazar, peneliti di Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU)

Arahan pemerintah yang membatasi kegiatan masyarakat bukanlah hal baru.

Sejak awal tahun 2021, tepatnya pada 11 Januari 2021, Mendagri menginstruksikan kepada seluruh gubernur di Jawa dan Bali untuk membatasi aktivitas di luar negeri.

Kegiatan di luar rumah tangga yang perlu dibatasi antara lain pekerjaan kantor, kegiatan di tempat ibadah, lembaga publik, seni dan budaya, restoran, perbelanjaan, dan pasar.

Pembatasan aktivitas akan terus diperpanjang setiap dua minggu sekali, minimal 12 kali hingga akhir Juni 2021. Instruksi pembatasan diperluas dari tujuh provinsi di Jawa dan Bali menjadi 10, 15, 25, 30 dan akhirnya semua provinsi.

Sejak awal Februari, pemerintah memperkenalkan klasifikasi risiko di tingkat lingkungan (RT) dengan istilah Pembatasan Kegiatan Masyarakat Skala Mikro.

Pembatasan kegiatan masyarakat harus bertujuan untuk meminimalkan pergerakan populasi menular di luar rumah. Karena pembatasan instruksi hingga akhir Juni 2021, tindakan yang diambil sayangnya tidak drastis.

Misalnya, pada awal Januari instruksi untuk bekerja di kantor (25%), tetapi kemudian meningkat menjadi 50%. Kemudian diturunkan lagi menjadi 25%, namun hanya untuk area zona merah.

Sementara itu, 50% masih diperbolehkan untuk zona risiko lainnya. Tempat makan dan minum di tempat umum telah ditingkatkan dari 25% menjadi 50%.

Sejak direktif pertama belum ada aturan ambang batas mutlak untuk jumlah orang yang berkumpul. Selama ini yang diatur hanya nilai relatif 25-50% dari kapasitas jumlah pengunjung untuk kegiatan di lembaga publik, budaya dan seni. Akibatnya, kami menemukan berita pelanggaran di mana-mana.

Setelah semakin banyak pasien yang tidak masuk ICU/IGD dan semakin maraknya kabar pemakaman korban COVID dalam sebulan terakhir, pembatasan aktivitas masyarakat kembali diberlakukan.

Melihat data pembatasan selama 6 bulan terakhir, pergerakan orang untuk bekerja hanya berkurang sekitar 20-35% dibandingkan sebelum pandemi. Kunjungan ke pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, dan tempat hiburan outdoor justru meningkat drastis dari awal Ramadhan hingga akhir Idul Fitri Mei lalu.

Data Google Mobility menunjukkan bahwa orang hanya menghabiskan 5-10% lebih lama di rumah selama 6 bulan itu dibandingkan sebelum pandemi.

Idealnya, pembatasan darurat yang diperlukan adalah memindahkan 100% orang ke dalam rumah dan menghabiskan 2-4 minggu lebih banyak waktu di dalam rumah.

Penting untuk memikat orang yang terinfeksi ke dalam rumah untuk memutus rantai penularan di luar rumah dan memungkinkan petugas kesehatan untuk melacak, mendiagnosis, dan menambah fasilitas perawatan.

Bagi yang nantinya ketahuan, isolasi rumah harus dilakukan dengan baik untuk mengantisipasi penularan di dalam rumah. Konsistensi kebijakan di tingkat pusat, implementasi di tingkat pelaksana, dan kepatuhan masyarakat adalah faktor penentu apakah pembatasan ini akan kembali efektif atau tidak.

Kebijakan Ini Reaksioner dan Terlambat

Trevino Pakasi, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Kebijakan yang seharusnya lebih ketat tentang mobilitas terbatas jelas sudah terlambat. Kebijakan ini hanya menanggapi lonjakan kasus selama sebulan terakhir. Bahkan pemerintah secara terbuka mengaku tidak pernah memprediksi kasus COVID akan meningkat mulai Juni tahun ini.

Pedoman ini menunjukkan bahwa tindakan pencegahan belum berjalan optimal sebelum kasus ini meledak. Pemerintah yang memiliki data kasus sejak Maret tahun lalu, seharusnya bisa merumuskan pedoman untuk mencegah kasus meningkat dengan lebih baik. Tidak ada politik reaksioner setelah kasus itu meledak.

Secara umum, angka kasus positif dari total kasus yang diperiksa masih tinggi. Dalam 6 bulan terakhir, dengan tingkat tes yang fluktuatif, tingkat kepositifannya antara 9-33% persen.

Dalam satu setengah bulan terakhir, tingkat kepositifan meningkat dari sekitar 13% pada 14 Mei menjadi 26% pada 26 Juni. Angka ini jauh dari standar maksimal 5% yang direkomendasikan oleh World Health Organization.

Oleh karena itu, selain pembatasan tersebut, pemerintah dan tenaga kesehatan perlu meningkatkan tindak lanjut dan pengujian. Kali ini kita perlu fokus pada pengujian orang yang menunjukkan gejala COVID, memiliki penyakit penyerta, dan pernah melakukan kontak dengan orang yang positif COVID-19.

Lamanya waktu hasil tes PCR diketahui pasien adalah masalah serius karena mereka terlambat mengisolasi diri atau bahkan meninggal sebelum waktunya.

Dokter keluarga perlu meningkatkan pengawasan terhadap pasien positif COVID-19 yang melakukan isolasi mandiri agar benar-benar membatasi pergerakannya agar virus tidak menyebar lebih jauh ke dalam keluarga.

Demikian ulasan berita politik Indonesia mengenai Kebijakan Jokowi Pengetatan Jawa Bali, semoga menjadi informasi yag berguna. /Aha

Sumber bacaan bisa dilihat pada: theconversation

Baca Juga: Perselisihan Rusia dan Republik Ceko Berhubungan dengan Serangan Teror